Kemiskinan dan Program Banggakencana

Oleh : MZ Fathurachman

Tanggal 16 Januari 2023, BPS merilis Berita Resmi Statistik. Salah satu hasil yang menarik adalah Profil Kemiskinan di Indonesia. Secara keseluruhan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 9,57 persen pada September 2022. Angka ini meningkat 0,03 persen poin terhadap persentase pada Maret 2022. Adapun untuk jumlah penduduk miskin mencapai 26,36 juta orang per September 2022.

BPS juga mencatat secara nasional garis kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp535.547 per kapita per bulan. Angka ini terdiri dari komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp397.125 (74,15 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp138.422 (25,85 persen).

Pada periode yang sama, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.324.274 per rumah tangga miskin per bulan. DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan terendah dengan persentasi yang sama, yakni 4,61 persen. BPS mencatat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa per September 2022.

Mengutip laman resmi BPS, Selasa (17/1/2021), persentase penduduk miskin di DIY pada periode tersebut mencapai 11,49 persen atau secara absolut, terdapat sebanyak 463,63 ribu orang atau naik 8.900 orang dibandingkan pada data Maret 2022. Meski demikian, warga miskin di DIY pada September 2022 turun 10.900 orang dibandingkan data Susenas pada September 2021. Provinsi di Pulau Jawa termiskin kedua adalah Jawa Tengah diikuti Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, lalu DKI. Berikut tingkat kemiskinan di Jawa berdasarkan provinsi:

DIY: 11,49 persen
Jawa Tengah: 10,98 persen
Jawa Timur: 10,49
Jawa Barat: 7,98
Banten: 6,24 persen
DKI Jakarta: 4,61 persen

Muncul opini bahwa data tersebut tidak menggambarkan kondisi masyarakat DIY sesungguhnya. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK), yang mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non makanan. GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

Mereka yang beropini bahwa data tersebut tidak menggambarkan kondisi masyarakat DIY sesungguhnya, menjelaskan bahwa banyak warga yang mengkonsumsi sayur dan sumber protein dari kebun dan pekarangan sendiri, dapat berhemat, jarang belanja, jajan apalagi hutang konsumtif, sehingga biaya pengeluaran konsumsi sedikit, akibatnya masuk dalam kategori miskin. Penduduk DIY dipandang juga memiliki filosofi hidup nrimo ing pandum, urip ora ngoyo, alon-alon waton kelakon, gemi lan nastiti, hidup seadanya, hemat, dan rajin menabung sehingga tingkat konsumsinya rendah. Data BPS tersebut di atas dipandang lebih menggunakan pendekatan makro, sehingga seyogyanya lebih pas jika dievaluasi menggunakan data mikro terhadap kemiskinan.

Dengan keadaan tersebut, mudah saja jika kita ingin cepat menurunkan angka kemiskinan. Pemerintah daerah DIY dapat melihat data by name by address penduduk miskin milik BPS, lalu memberi mereka bantuan tunai agar konsumsi mereka di atas garis kemiskinan. Saat nantinya dilakukan survei kembali maka angka kemiskinan akan turun secara makro, akan tetapi hal tersebut tidak menyelesaikan permasalahan mendasar dari masyarakat. Selain itu definisi kemiskinan yang semata-mata berdasarkan variabel konsumsi tanpa mempertimbangkan daya beli, aset, dan tabungan pun dikritisi.

Di lain pihak Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki argumen bahwa data kemiskinan bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 yang dilaksanakan pada bulan Maret dan September 2022. Survei mencatat konsumsi makanan dan non makanan baik diperoleh secara: beli mandiri; dikasih oleh orang lain; dan panen sendiri. Jadi seluruh konsumsi dihitung, entah dari mana saja sumber mendapatkan makanan dan non makanan, tetap tidak berpengaruh terhadap hitungan konsumsinya, sehingga opini di atas terbantahkan dengan pernyataan BPS tersebut.

Lantas, di mana peran BKKBN dengan program Banggakencana-nya untuk pengentasan kemiskinan? Langkah awal yang diperlukan adalah tersedianya data yang valid dan akurat. BKKBN sendiri telah melaksanakan Pendataan Keluarga 2021 (PK-21) yang datanya dimutakhirkan kembali melalui Pemutakhiran PK-22. Kepala BKKBN Dr.(HC) dr. Hasto Wardoyo,Sp.OG (K) berharap data keluarga Indonesia hasil PK-21 digunakan seoptimal mungkin untuk upaya percepatan penurunan stunting dan penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Hasil data PK-21 tersebut merupakan data backbone dalam upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dan juga percepatan penurunan prevalensi stunting. Inpres No. 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem juga telah di- launching, yang menyebutkan dengan sangat jelas bahwa data PK-21 digunakan sebagai Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Presiden Joko Widodo menargetkan agar kemiskinan ekstrem Indonesia menjadi nol persen pada 2024. Target nol persen ini untuk mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang memuat komitmen global menghapus kemiskinan ekstrim pada 2030.

Program Keluarga Berencana (KB) secara nyata membantu menurunkan angka kemiskinan. Berbagai penelitian mendukung hal ini. Penelitian kohort terhadap program KB dan kemiskinan oleh Bailey dkk (2014) menyebutkan bahwa program KB dapat memutus siklus kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program KB menurunkan kemiskinan baik untuk populasi anak-anak dan dewasa dalam jangka pendek maupun panjang. Allen (2007) menyimpulkan bahwa investasi (negara) dalam program KB menurunkan angka kemiskinan global dan meningkatkan status kesehatan ibu dan anak. Berbagai penelitian yang ada telah mendokumentasikan hubungan antara kemiskinan dan fertilitas yang tinggi. Wanita dari rumah tangga miskin memiliki lebih banyak anak daripada wanita dari rumah tangga yang lebih berada. Dalam sebuah penelitian yang melibatkan survey di 56 negara, wanita-wanita yang paling miskin memiliki rata-rata dua kali lipat anak dibandingkan wanita berada. Walaupun wanita yang miskin seringkali menginginkan jumlah anak yang lebih banyak dibandingkan wanita yang lebih berada, tetapi mereka biasanya memiliki anak lebih banyak daripada yang mereka harapkan atau rencanakan. Fertilitas yang tinggi , melahirkan anak usia dini, dan jarak melahirkan yang terlalu rapat cenderung berhubungan dengan kesehatan anak dan ibu yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, dan keterbatasan mobilitas sosial.

BKKBN juga selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan keluarga dengan program Pembangunan Keluarga. Dengan berbagai kegiatan Keluarga Sejahtera melalui siklus hidup, BKKBN melalui kelompok-kelompok kegiatan (Poktan) berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas dan kesejahteraan keluarga sehingga meningkatkan ketahanan keluarga. Sebut saja program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA) yang memiliki misi untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga. Program Bina Keluarga Lansia (BKL) berupaya mewujudkan lansia yang tangguh dan produktif. Penilitian Matos dkk. (2021) mendukung korelasi antara ketahanan keluarga dan kemiskinan. Disebutkan bahwa semakin rendah tingkat kemiskinan terjadi pada keluarga yang memiliki ketahanan keluarga yang tinggi, dan sebaliknya semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin rendah ketahanan keluarga yang dimiliki. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian Da Silva dkk. (2021).

Perpres no.72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting diterbitkan, di mana BKKBN ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting. Presiden Jokowi menargetkan tercapainya prevalensi stunting nasional sebesar 14 persen pada tahun 2024. Program Percepatan Penurunan Stunting ini merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di masa kini dan mendatang. Mustahil kemiskinan dapat teratasi jika SDM yang dimiliki suatu negara rendah. Ambil contoh Singapura, negeri kecil minim Sumber Daya Alam (SDA) akan tetapi memiliki SDM yang unggul, menjadikannya negara maju dan kaya. Generasi bebas stunting, SDM berkualitas merupakan syarat utama untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 untuk menjadi negara yang maju dan bebas dari kemiskinan. Amin!

Post Terkait